Sunday, February 14, 2016

Sangkan Paraning Dumadi

Slmt malam, patut jadi bahan refleksi diri :
Bg yg sdh merasa tua dan yg belum 😞

Seorang bapak sekira usia 55 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Sekira sekian menit, ia menyapa saya.
"Mas, hendak ke Jogja juga?"
"Iya, Pak. Bapak juga?"
"Iya."
"Bapak sendiri?"
"Iya." Senyumnya memasam. Menghela napas panjang. "Mas, kerja apa?"
"Saya serabutan, Pak," sahut saya sekenanya.
"Serabutan tapi mapan, ya?" Ia tersenyum. "Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan."
Saya tertegun. "Kok begitu, Pak?"

Ia pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja. Di Amsterdam. Di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Salah satu manajer. Yang bungsu, masih kuliah di Singapura.

Tepat pada saat ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di wilayah Pondok Indah, Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang pembantu dan suaminya yang sekaligus sopir pribadinya, ia menyeka kelopak mata dengan tisue.

"Mas jangan sampai mengalami hidup seperti saya, ya. Semua yang saya kejar selama muda kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang "selalu memburu duit, duit, dan duit, " sampai lalai mendidik anak tentang IMAN, IBADAH, SILATURAHIM, dan MENGABDI PADA ORANG TUA.

Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya akan meninggal, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan kolegaya dari Swedia. Sibuk. Iya, sibuk sekali…."

"Bapak, Bapak yang sabar ya…." Adakah kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu?

Ia tersenyum kecut. "Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya, Mas. Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni SANGKAN PARANING DUMADI.

BUKAN materi sebanyak apa pun. Asal-usul dan hendak ke mana kita akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar itu, semu semua. Tidak hakiki.

Mas bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya…."

Ia mengelus bahu saya –saya tiba-tiba teringat almarhum ayah.

Di pesawat, seusai take off, saya melempar mata ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung bertimbun-timbun bagai permadani putih.

Semua manusia sungguh semata hanya sedang menunggu giliran dijemput maut. Manusia sama sekali tiada nilainya, tiada harganya, tiada pengaruhnya bagi jagat raya ini.

Sangat nisbi, naif, dhaif, fana, sumir, kerdil, sebutir debu, senoktah hikayat.

Hanya kepadaNya kita akan kembali .. dan kita tdk akan membawa apa2 baik saat datang ke dunia ini maupun saat kita pergi....

Copas dr grp sebelah 👍

No comments:

Post a Comment